Wednesday, January 9, 2008

Mimpi Untung Malah Buntung

Ratusan Nasabah Tertipu "Perusahaan Investasi"


SIAPA tak tergiur untung besar tanpa harus bekerja? Tak perlu memeras keringat, memutar otak, dan risiko rugi. Cukup titip sejumlah uang, dalam hitungan bulan, beranak-pinak dan berlipat jumlahnya.

"Mimpi" itu yang dicoba untuk ditawarkan sejumlah "perusahaan investasi" yang belakangan menjamur di Surabaya. Mereka seakan berlomba menghimpun dana masyarakat dengan dalih share keuntungan. Persentase keuntungannya tak main-main. Mereka mematok yield (bunga investasi) hingga 20 persen.

Hendry Susanto, warga Tambak Bayan, pun tergiur penawaran itu. Pada Agustus 2003, seorang karyawan marketing PT WBG (Wahana Bersama Globalindo) memaparkan keuntungan berinvestasi di perusahaan investasi yang berkantor di Gedung Wisma BII, Jalan Pemuda, itu.

Sesudah presentasi, dengan mantap, Hendry pun "mendepositokan" sebagian hartanya. Tak tanggung-tanggung, saat itu dia menanamkan modal USD 250.000 atau sekitar Rp 2,25 miliar (jika USD 1 sama dengan Rp 9 ribu).

Hendry memilih menggunakan mata uang asing dengan spekulasi nilai pertukarannya yang fluktuatif. Jika nilainya sedang naik, jumlah uang berikut keuntungannya ikut naik pula.

"Saya dijanjikan keuntungan 2 persen per bulan," kata pria 55 tahun itu. Artinya, setiap bulan, tanpa harus bekerja, dia mendapatkan Rp 45 juta. Sebuah keuntungan yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan menitipkan uang di bank mana pun.

Pada awal investasi, Hendry benar-benar merasakan keuntungan yang luar biasa. "Tapi, bunganya tidak pernah saya ambil. Saya membiarkannya di WBG supaya uangnya bertambah. Cuma, setiap bulan saya cek di WBG," ujar pengusaha itu.

Merasa dananya membengkak, Hendry terus menambah investasi. Harapannya, supaya keuntungan makin besar. Setelah beberapa kali memberikan suntikan dana, investasi Hendry mencapai USD 550.000 atau sekitar Rp 4,95 miliar. Dengan dana sebesar itu, tiap bulan Hendry bisa memperoleh untung Rp 99 juta.

Karena dana terus mengalir, Hendry tak cemas. Dia justru semakin semangat memberi tahu koleganya betapa beruntung menanamkan modal di perusahaan investasi. "Saya sempat menarik dana dan selalu diberi oleh PT WBG," ungkapnya.

Nah, menginjak tahun ketiga investasi, Hendry merasakan suatu yang tak beres. Desember 2006, dia hendak menarik sebagian dananya dengan alasan keperluan bisnis sekaligus keluarga. Untuk kali kesekian, Hendry mendatangi Kantor PT WBG.

Namun, apa yang dia peroleh? Karyawan dan pimpinan tak bisa mengabulkan permintaan Hendry. Alasannya, perusahaan kehabisan dana karena sedang ada rush (penarikan dana dalam jumlah besar) oleh nasabah. Berkali-kali dia meminta haknya. Jawabannya selalu sama: perusahaan belum ada dana.

Alhasil, Hendry berniat mengambil seluruh dana yang sudah tiga tahun diinvestasikan di PT WBG. "Tapi, dana saya tidak pernah diberikan. Ternyata, nasabah lain juga mengalami hal serupa," tuturnya.

Sejak awal Februari 2007, Kantor PT WBG tak pernah sepi. Ratusan nasabah berulang-ulang menggelar demonstrasi dengan tuntutan pengembalian dana. "Karena tidak dikembalikan, kami melapor ke polisi," kata Hendry. Hingga kini, nasib uang miliaran rupiah milik Hendry itu tak jelas.

Christian Gunawan, warga Keputih, juga mengalami hal serupa. Pada Mei 2006, dia bertemu dengan seorang karyawan PT SPI (Sarana Perdana Indoglobal) yang berkantor di Gedung Graha SA, Jalan Raya Gubeng. "Dia bercerita panjang lebar soal keuntungan investasi di perusahaannya," ucapnya.

Chris -panggilan Christian Gunawan- langsung tertarik. Namun, dia tak langsung investasi. "Saya menanamkan modal setelah ada saudara saya yang juga menjadi nasabah di
sana. Kata dia, investasinya memang menguntungkan," ujar pria 31 tahun itu.

Dia menyuntikkan dana Rp 150 juta. Sesuai perjanjian dengan PT SPI, Chris akan diberi keuntungan 4 persen setiap bulan. Artinya, dalam sebulan, dia mendapatkan dana cuma-cuma Rp 6 juta.

Awal perjanjian Chris dengan SPI berjalan mesra. Pria berkulit bersih itu selalu mendapatkan keuntungan. "Tapi, yield yang saya peroleh cuma berjalan 9 bulan," ungkap wiraswastawan itu.

Sebab, akhir Februari lalu dia menerima sepucuk
surat dari PT SPI. Isinya, mengabarkan bahwa yield dicairkan pada 5 Maret. "Saya mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Kok pencairan dananya mulai molor. Apalagi, perusahaan investasi lain mulai bergejolak. Nasabahnya sering demo," tuturnya.

Pada 5 Maret, janji PT SPI tak terbayar. Chris dan kawan-kawan tetap tak memperoleh yield. Karena itu, nasabah PT SPI ramai-ramai meminta dana dikembalikan.

Lagi-lagi PT SPI tak bisa memenuhi tuntutan para nasabah itu. Alasannya, dana dibawa kabur oleh Presiden Direktur SPI Leonardo Patar Muda.
Para nasabah akhirnya membawa kasus itu ke ranah hukum dengan membuat laporan polisi.

Jika Hendry melaporkan pengelola PT WBG ke Mapolda Jatim, Chris dan nasabah PT SPI yang lain memilih membuat laporan di Mapolwiltabes
Surabaya . Setelah melalui serangkaian proses penyidikan, tim penyidik Satpidek (Satuan Pidana Korupsi) pimpinan Kompol Muchid menjadikan Branch Manager PT WBG Surabaya Zubaidi sebagai tersangka. Penyidik menilai, Zubaidi memenuhi unsur melakukan tindak pidana penipuan dan penggelapan. Selain menetapkan tersangka, penyidik telah menyita hampir seluruh aset milik Zubaidi dan PT WBG sebagai barang bukti kejahatan.

Sementara itu, hingga sekarang, kasus PT SPI masih dalam penyelidikan Satreskrim Polwiltabes. Polisi sudah memeriksa sejumlah saksi, namun belum menetapkan tersangka.

Sebelum PT WBG dan PT SPI, sejumlah perusahaan juga sempat dipolisikan nasabahnya. Sebut saja PT Pomas (Pohon Mas Sejahtera) dan Solid Gold Berjangka. Kasusnya sama dengan PT WBG dan PT SPI.

Direktur JIM (Jatim Investment Management) Leo Herlambang mengatakan, beberapa perusahaan investasi di Jatim tergolong ilegal. Termasuk PT WBG dan PT SPI.

Sebab, dalam praktiknya, mereka menghimpun dana dari masyarakat. Padahal, aturannya, yang diperbolehkan menghimpun dana adalah bank, koperasi, dan perusahaan reksadana. "Di luar tiga lembaga itu ya tidak boleh menampung dana," tegasnya.

Lalu, berapa jumlah perusahaan investasi di
Surabaya atau Jatim? Leo mengaku tidak tahu pasti. "Kami hanya mendata perusahaan yang mencantumkan investasi dalam izinnya. Izin perusahaan investasi yang bermasalah itu bukan investasi," jelasnya.

Leo mengatakan, perusahaan berkedok investasi mulai booming sekitar 2002-an. Pada era itu, kondisi ekonomi kurang stabil. Jika ada penawaran investasi dengan bunga tinggi, orang langsung tergiur. "Apalagi, bunganya jauh lebih tinggi daripada bunga bank," katanya. (dedy sahrul/hafid)

@Jawapos. Senin 2 April 2007

No comments:

Bookmark This

Popular Posts

Amazon